Puasa Ramadhan di Inggris: Best Memory From London oleh Dr. Hj. Mutmainnah Mustofa, M.Pd Dosen Pascasarjana UNISMA Malang
University of the Arts London (UAL) adalah salah satu collegiate university yang berlokasi di London, England. Universitas ini berspesialisasi pada bidang seni, disain, fashion, dan performing arts. UAL merupakan bagian dari persekutuan perguruan tinggi seni yang terdiri dari Camberwell College of Arts, Central Saint Martins, Chelsea College of Arts, the London College of Communication, the London College of Fashion dan Wimbledon College of Arts. UAL menerima TEF Silver. TEF (Teaching Excellence Framework) diberikan kepada perguruan tinggi yang senantiasa memberikan pengajaran, pelajaran dan hasil belajar dengan kualitas tinggi kepada mahasiswanya. Terlebih lagi, perguruan tinggi tersebut juga harus memenuhi persyaratan kualitas pendidikan nasional. Itulah mengapa saya setuju ditempatkan di University of the Arts London untuk melaksanakan Overseas Non-DegreeTraining (ONDT) dengan Host Supervisor Dr. Richard Thomas, Course Leader English and Modern Languages-The Language Centre, University of the Arts London dan Advisor Dr. Rae M Lucas, Literature Lecturer in University of the Art London, UK.
Kegiatan ini telah terlaksana beberapa tahun silam melalui program Dana hibah Indonesia Managing Higher Education for Relevancy & Efficiency (IMHERE) yang dimenangkan oleh UNISMA Malang. Hanya saja memori indah masih melekat di hati. Terlebih pada momen bulan Puasa Ramadhan 2020 kali ini.
Puasa pada bulan suci Ramadhan di Inggris sekitar 19 jam. Menjelang musim panas, durasi siang hari lebih panjang dari pada malamnya. Matahari terbit sekitar pukul 5 pagi dan baru terbenam pukul 21.00. Bisa dibayangkan berpuasa di negeri ujung Eropa ini berkisar 18-19 jam. Menjalankan puasa Ramadhan di Inggris terasa sangat berbeda saat di Tanah Air. Mengapa, yang pertama adalah, kita tidak akan mendengar kumandang azan Magrib penanda waktu berbuka. Tak ada pengeras suara masjid yang membangunkan warga menjelang sahur tiba. Tak ada restoran yang memasang gorden untuk menutup hidangannya, dan tidak ada penanda waktu Imsa’ dari pengeras Masjid atau Mushalla. Sunyi senyap di luar sana, nyaris nampak seperti kota tak berpenghuni. Sangat berbeda suasana dan setting puasa Ramadhan di Inggris dan di Indonesia.
Ayo Kuliah dan Daftar di UNISMA Malang sekarang!
Pendaftaran bisa melalui online: http://pmb.unisma.ac.id/
Perbedaan durasi lama berpuasa adalah hal yang sangat terasa antara berpuasa di Indonesia dan Inggris. Panjangnya durasi ini menjadi tantangan tersendiri. Bagi muslim di Indonesia, pukul 17.00 sore terasa sudah sangat dekat dengan waktu berbuka. Menu buka puasa mungkin sudah siap tersaji di meja. Sementara di Inggris, pukul 17.00 matahari masih tinggi dan waktu berbuka masih 4 jam lagi. Matahari masih bersinar cerah terang benderang, seperti pukul 12 siang waktu Indonesia.
Dengan segala perbedaan yang ada, keunikan ibadah puasa di Britania Raya sangat terasa. Waktu di Inggris tertinggal 6 jam dari waktu di Indonesia. Sehingga, ketika umat Islam di Britania Raya baru berbuka puasa (pukul 21.00) saudaranya di Indonesia sedang menikmati sahur (pukul 03.00) untuk puasa hari berikutnya. Sungguh Kuasa Allaah terhadap segala ciptaan dan kreasi-Nya…
Hal lain yang tak terlupakan adalah kebaikan dari ibu-ibu KBRI London untuk mengundang kami berbuka puasa di Restaurant dengan hidangan sudah matang, tapi matahari masih terang benderang, karena waktu berbukapuasa masih 1 jam lagi yaitu pukul 21.00. Meskipun demikian, panjangnya durasi puasa tak menjadi masalah besar karena matahari tidak terlalu menyengat. Musim semi di Inggris lebih dingin daripada musim hujan di Indonesia. Matahari memancarkan sinarnya, tapi suhu udara hanya berkisar 10-15°C, sehingga dahaga tak begitu terasa, suasana pegunungan, sejuk dan sangat nyaman, Subhanallaah… tentunya situasi yang saya alami beberapa tahun silam ini bisa saja berbeda dengan situasi puasa Ramadhan tahun ini di tengah pandemic Covid yang melanda Inggris dan bahkan lebih dari 150 negara di dunia.
Ayo Kuliah dan Daftar di UNISMA Malang sekarang!
Pendaftaran bisa melalui online: http://pmb.unisma.ac.id/
Tantangan lain yang lebih berat dalam berpuasa di Negeri Ratu Elizabeth II adalah mengatur waktu istirahat. Waktu itu..kegiatan yang saya ikuti adalah sebelum terjadinya Covid-19, sehingga perkuliahan dilaksanakan secara tatap muka di UAL, dimulai pukul 08.00, praktis pukul 07.00 saya harus berangkat dengan naik bus 2 kali menuju UAL. Jeda waktu antara salat tarawih dan makan sahur relatif singkat. Rata-rata, salat Isya saya lakukan berjamaah di Masjid Regent Park dilakukan pukul 22.30. Tarawih dimulai pukul 23.00 dan selesai sekitar pukul 24.00. Waktu yang tersisa untuk istirahat pun jadi sangat terbatas, mengingat pukul 02.00 pagi sudah mulai persiapan sahur, sehingga harus disiplin mengatur waktu tidur, supaya tak terlewat santap sahur. Maka seisi rumah tidak ada yang tidur, bertahan untuk menuju makan sahur, dan shalat subuh. Selesai shalat subuh barulah saya mencoba untuk mengistirahatkan tubuh sejenak, meskipun saya menyadari bahwa seorang muslim hendaknya menghindari tidur pagi meskipun tidak ada larangan yang mutlak untuk hal ini.
Selama 2 bulan di Inggris dan 20 hari puasa Ramadlan, bisa dirasakan bahwa umat Islam di Inggris sangat menghormati umat beragama lain, termasuk di bulan Ramadhan. Misalnya pengalaman menjaga ketertiban setelah salat Tarawih yang berakhir tengah malam, yang saya sendiri alami ketika berkunjung ke London pada saat sebelum Covid-19. Pengurus masjid juga mengingatkan jamaah agar tidak berisik atau ngobrol terlalu keras ketika berjalan pulang dari masjid karena bisa mengganggu warga non muslim yang sedang nyenyak beristirahat. Bahkan Duta Besar Inggris untuk Indonesia menyatakan warga di Inggris menjaga toleransi antar umat beragama termasuk saat menjalankan ibadah puasa di negara yang mayoritas penduduknya bukan Muslim. Dia juga menyatakan khususnya di kota-kota besar di Inggris, semua perusahaan faham tentang bulan puasa dan siap untuk menyesuaikan keperluan kerja dan agama. “Toleransi agama, toleransi kebudayaan, toleransi ras, juga sangat baik di Inggris.”
- Penulis Dr. Hj. Mutmainnah Mustofa, M.Pd., Ketua Program Studi Magister Pendidikan Bahasa Inggris, Program Pascasarjana Universitas Islam Malang (UNISMA)
- Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi http://www.kui.unisma.ac.id
- Popular Article atau Rubrik Opini http://www.kui.unisma.ac.id adalah terbuka untuk umum. Panjang naskah sekitar 500-600 kata (berbahasa Indoneisa atau bahasa Internasional). Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
- Naskah dikirim ke alamat e-mail: kui@unisma.ac.id
- Redaksi berhak tidak menanyangkan opini yang dikirim.